Polri Malu Akui Lengah Saat Penikaman Wiranto
JAKARTA - Polri dan Badan Intelijen Negara (BIN) mengklaim, sosok penikam Menko Polhukam Wiranto telah terdeteksi keberadaannya di wilayah Pandeglang, sejak tiga bulan sebelum peristiwa. Namun, pernyataan tersebut dianggap sebagai bualan. Sebab, jika sudah terdeteksi, mengapa Syahrial Alamsyah (SA) alias Abu Rara bersama istrinya Fitriana Diana (FD) dapat begitu bebas melakukan eksekusi terhadap Wiranto? Jelas klaim BIN dan POlri tidak berdasar. Pengamat Terorisme UIN Syarif Hidayatullah Zaki Mubarok mengatakan klaim polisi dan BIN tak berdasar. Seharusnya jika sudah terdeteksi kedua pelaku berafiliasi dengan jaringan Jamaah Ansorut Daulah (JAD) Bekasi, maka peristiwa tak akan terjadi. Klaim tersebut dinilai hanya untuk menutupi rasa malu bahwa Polri kecolongan dan lengah dalam mengawal Wiranto. \"Saya kira pelaku ini belum terdeteksi keberadaannya, baik oleh BIN atau Densus 88 Antiteror Mabes Polri. Bahkan, masih banyak sosok lain seperti Abu Rara yang sangat potensial untuk melakukan amaliah ini juga. Jadi, yang dimaksud mungkin terdeteksi kelompoknya,\" ujar Zaki saat dikonfirmasi Fajar Indonesia Network, Minggu (13/11). Baca Juga Mesin Pabrik Tahu di Wonosobo Meledak, Dua Orang Luka Zaki menyebut, jika pihaknya tak menyangkal atas segala kerja keras dari BIN atau Densus 88 dalam upaya melakukan pencegahan terhadap aksi-aksi teror di negeri ini, namun tentu dua Institusi tersebut punya keterbatasan dalam tugasnya tersebut. \"Kita tahu bagaimana Densus 88 itu sering kali berhasil melakukan upaya pencegahan, tapi hal itu tak cukup, karena sel-sel jaringan JAD juga terus bergerak dan berevolusi, termasuk aktif merekrut anggotanya dan tentu sangat sulit untuk mendeteksi satu per satu,\" ucapnya. Dengan demikian, Zaki menilai, klaim BIN dan Polri dalam hal ini Densus 88, maksudnya adalah jaringan pelaku bukan berdasarkan personalnya. \"Ya kalau memang terdeteksi, tidak mungkin aksi penyerangan itu terjadi dan pelakunya tidak ditangkap sebelum beraksi. Jadi, mungkin yang dimaksud terdeteksi oleh BIN atau Polri itu jaringannya, sebab daerah itu memang menjadi zona merah kelompok radikal,\" tuturnya. Zaki menuturkan, jaringan JAD yang merupakan kiblat para pelaku atau pasangan suami-istri ini memang sejak 2017 sudah tumbuh di Banten pada umumnya, dan kelompok ini pun sudah banyak juga tertangkap, beserta para pendukung ISIS di Pandeglang. Lanjut Zaki, di tahun 2018 sejumlah militan JAD di Banten pernah juga sudah banyak yang ditangkap. Dan saat itu, diketahui mereka yang ditangkap itu berkaitan dengan latihan perang atau i\\\' dad. Perlu dipahami, bahwa sel-sel JAD itu terkait satu sama lain. \"JAD itu memiliki keterkaitan satu sama lainnya, misalnya antara sel Bekasi, Pandeglang, Padang, Medan, Lampung, maupun wilayah di Indonesia lainnya. Hal inilah, bagaimana kita melihat sekalipun jaringan besar sudah terbongkar, mereka akan tetap ada,\" ungkapnya. \"Dan bahkan, saat jaringan besarnya terbongkar sangat mungkin sel-sel kecil lain yang militan masih belum tersentuh, dan mereka terus bergerak untuk lakukan amaliyah atau terus rekrut demi eksistensi, sekaligus mencapai tujuan mendirikan Negara Islam,\" sambungnya. Terpisah, pengamat terorisme yang juga dari UIN Syarif Hidayatullah, Roby Sugara menilai, deteksi dari BIN dan Polri itu memang sudah dilakukan terhadap pelaku penyerangan kepada Wiranto, sejak penangkapan Amir JAD Bekasi Abu Zee dan 8 anggota di Bekasi dan Jakarta Utara. \"Nama dari para pelaku ini terdeteksi saat tertangkapnya kelompok JAD Bekasi, karena nama pelaku itu sudah disebutkan. Kalaupun aksi penyerangan masih juga terjadi, ya saya kira data yang sudah didapatkan itu tidak sampai ke tingkatan bawah,\" kata Roby dihubungi terpisah. Dengan kejadian ini, Roby pun menyayangkan kasus ini bisa terjadi. Terlebih, data-data hasil deteksi kedua pelaku itu tak sampai ke tingkat bawah padahal itu sudah menjadi standarnya, alhasil peristiwa naas itu tak mampu bisa dicegah lebih awal. \"Jadi, standar informasi data intelijen, standarnya harus begitu. Apalagi pak Wiranto sendiri sudah mendapatkan ancaman pembunuhan. Itu harus ditanya ke aparat keamanan, mengapa keamanan Pak Wiranto begitu longgar,\" pungkasnya. Sebelumnya, Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengklaim, jika Polri dan BIN telah mendeteksi keberadaan pasangan suami-istri Abu Rara dan Fitriana Diana (FD) pelaku penyerangan terhadap Menko Polhukam sejak tiga bulan lalu. Namun demikian, diakui Dedi, para pelaku ini tidak bisa ditangkap oleh Densus 88 Antiteror Mabes Polri lantaran, bukti permulaan tidak cukup kuat. Alhasil, mereka pun hanya dapat di monitor dari jarak jauh, sambil menunggu bukti kuat keterlibatan pada aksi terorisme. \"Dalam upaya penegakan secara preventif strike itu, kami tidak bisa melakukan tanpa bukti permulaan yang kuat. Sehingga, selama belum didapatkan anggota hanya bisa memonitor target, dan itu yang dilakukan kepada mereka,\" kata Dedi, Jumat (11/10). Dedi menjelaskan, berdasarkan informasi Densus 88 yang bersangkutan pun sampai saat ini belum menjadi anggota JAD Bekasi, karena proses tahapan menjadi anggota belum tuntas dilakukan olehnya dan istri setelah memilih tinggal di Menes Pandeglang. \"Jadi memang mereka ini sempat direktur oleh Abu Zee, bahkan dinikahi juga. Tapi setelah menikah itu mereka pergi ke Menes Pandeglang dan tinggal disana, sehingga tahapan untuk masuk anggota JAD belum selesai dilakukan kepada keduanya,\" jelas Dedi. Menurut Dedi, untuk bisa menjadi anggota jaringan teroris itu tahapannya itu ada lima, antara lain dari mulai jaga-jaga, taklim umum, taklim khusus, kemudian mengikuti Idad atau latihan perang, dan terakhir melakukan kegiatan amaliyah. \"Dari lima tahap itu, Abu Rara dan istrinya baru sampai tahap ketiga. Mereka kemudian pergi ke Menes, Pandeglang untuk tinggal disana dan tidak sempat mengikuti tahap berikutnya. Dan ini juga yang menjadikan mereka sulit ditangkap, mungkin jika sampai tahap 4-5 kita bisa menangkapnya dengan dua alat bukti permulaan yang kuat\" tandas Dedi. (Mhf/gw/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: